Ghosh Town
Krisis
keuangan global yang melanda Amerika Serikat meninggalkan jejak
berupa kota-kota hantu (gosh town).
Kota-kota itu dibangun sepanjang awal tahun 2000-an dan mulai diserap pasar
pada tahun 2005. Kota-kota itu disebut kota hantu karena sejak pertengahan 2007
para penghuninya menyatakan tidak mampu membayar dan mengembalikan rumah mereka
kepada developer atau terpaksa disita oleh bank. Perlahan-lahan rumah tersebut
menjadi kusam, gelap, sepi, dan tidak ada kehidupan.
Rumah
adalah idaman setiap keluarga di seluruh dunia, tak terkecuali Amerika Serikat
yang perumahannya dibangun dengan konsep impian kelas menengah. Secara
sosiologi, kelas menengah adalah perekat antara orang kaya dan kaum pendatang
baru (imigran miskin) yang ditandai dengan kepemilikan rumah. Ketika para
pelaku di sektor keuangan meramu konsep baru yang memungkinkan para imigran dan
kaum miskin membeli rumah sendiri, mereka pun dijuluki “genius”.
Para
genius itu bekerja mengikuti pola seorang senior yang dulu pernah mwnghasilkan
konsep junk bond (surat utang beresiko tinggi, yaitu Michael Milken.
Milken sudah dipenjara pada tahun 1990-an dan kariernya tamat setelah skandal
keuangan yang dia rekayasa memakan banyak korban. Cara kerjanya adalah dengan
memberi bunga tinggi bagi debitor-debitor yang kesulitan memperoleh kredit
karena risiko gagal bayarnya besar.
Kredit
seperti itu masuk kategori “junk”, karena berisiko besar, sama seperti
“junkfood” yang harganya murah namun berkolesterol tinggi karena kaya minyak
dan krim. Tentu investor memberi pinjaman kalau pasangannya menarik, yaitu
bunga tinggi. Setelah dikemas menarik, masuklah investor-investor besar, dan
seperti diduga, setelah jangka waktu tertentu semua debitor tidak mampu
membayar. Barangkali kalau dianalogikan kurang lebih sama dengan kredit motor
yang diberikan kepada penganggur dalam jumlah besar yang bisa dipastikan akan
gagal bayar. Namun pemberi kredit berkilah mereka sudah mendapat untung dari
bunga yang tinggi.
Baiklah,
jung bond dan Michael Milken adalah
skandal tahun 1990-an, sedangkan mortgage
ghost town adalah fenomena abad ke-21. Namun cara kerjanya masih belum
memungkinkan membeli rumah atau mungkin caranya lebih genius namun terkesan
berbau konspirasi.
Para
pengejar impian untuk memiliki rumah yang kondisinya belum layak pun menjadi
sasaran. Kelompok ini diberi nama subprime
untuk membedakan nasabah kaya yang layak meminjam (disebut prime). Bank dengan suka rela memberi
pinjaman kepada kelompok berisiko ini, tapi dari mana bank memperoleh
pembiayaannya ?
Bank
mengemas ulang kredit tersebut menjadi surat-surat berharga yang diperdagangkan
di pasar keuangan. Dengan kecanggihan mengemas produk derivative keuangan,
surat-surat berharga itu berhasil memperoleh peringkat AAA yang artnya sangat
bagus. Pengemasan itu tidak berhenti sampai di sini.
Surat-surat
berharga itu dikemas lagi berkali-kali lipat, diedarkan oleh investmen banker, dibentuk dana-dana
lindung nilai (swap) dan diciptakan surat-surat berharga turunannya lagi,
demikian seterusnya. Jadi ketika kredit kepemilikan rumah (KPR) jatuh tempo,
para konsumen subprime tak mampu
membayar karena memang sesungguhnya mereka belum layak memiliki rumah secara
ekonomis. Akibatnya runtuhlah sektor keuangan yang menangani konsumen subprime pun menganggur, jumlahnya jauh
melebihi “krisis 9/11” yang menimpa industri penerbangan pada tahun 2001 dan
kini perlahan-lahan menjadi semacam cerita rakyat.
Rumor
tentang ghost town pun merebak.
Puluhan ribu rumah disita bank dan bunga bank disita Negara karena ribuan rumah
terpaksa disita dan ditinggalkan pemiliknya.
Sumber
: Washington Times, 23 Agustus 2007
Komentar
Posting Komentar